Breaking News

Tuesday, December 31, 2013

Dakwah Dengan Hati Bukan Dengan Benci


“Resume Kopdar Sarkub & Muker (Musyawarah Kerja) Aswaja Nasional di PP. Al-Husna Kota Tangerang Banten”

1. Sambutan Pengasuh

Catatan kecil dari Romo KH. Thobary Syadzily, bahwa Thariqat Sarkubiyah (SARKUB) telah menjadi sorotan hingga Amerika. Diharapkan ke depannya Sarkub bukan hanya aktif kopdar melainkan aksi nyata.

2. Hakikat Dakwah Salafi-Wahabi-HTI

Testimoni pertama: Ustadz Dr. Azas, memaparkan tentang pengalamannya dalam kancah dakwah Salafi-Wahabi. Beliau adalah mantan aktifis Salafi-Wahabi dan salah satu tokoh yang membesarkan HTI di Indonesia bersama tokoh panutannya dulu, Ja'far Umar Thalib.

Hingga bertahun-tahun lamanya mengikuti ritme gerakan dakwah mereka, Dr. Azas merasakan kekeringan yang sangat. Dakwah Islamiyyah sejuk yang diharapkannya ternyata hanya kebencian sesama Muslim yang didapat. Maka ia putuskan untuk keluar dari Salafi dan HTI, hingga akhirnya kembali ke pangkuan akidah orangtuanya yang nahdliyin dan sekarang turut berjuang mengibarkan bendera Aswaja (Sarkub) berdakwah dengan kesejukan.

Gini lho ya... Dakwah Salafi-Wahabi itu intinya berdakwah menebar kebencian. Di manapun ada Salafi-Wahabi maka hanya akan memecah-belah ummat. Dengan berdalih memurnikan akidah Islam, mereka lantang meneriakkan bid'ah, sesat, musyrik, takhayyul dan kafir.

Yang dikhawatirkan dari mereka bukanlah dari anggapannya bahwa Allah ada di atas, Allah bersemayam di atas Arsy, mengatakan bid'ah amalan kita, namun yang paling inti kekhawatiran kita dari dakwah mereka adalah memecah belah persatuan ummat.

Maka dari Aswaja, sebagai golongan mayoritas yang menjadi ladang dakwah (serangan) Salafi-Wahabi, seyogyanya tidak turut mengikuti sifat "Benci"nya. Tunjukkan kepada dunia bahwa Aswaja mampu berdakwah dengan santun, sejuk dan damai. Satu-satunya jalan menghadapi dakwah Salafi-Wahabi adalah dengan tindakan nyata.

3. Jurus Jitu Ketika Berhadapan Dengan Salafi-Wahabi

Testimoni keduaa: Syaikh Idahram yang memberikan paparan di hadapan peserta Kopdar Sarkub dan Musker Aswaja Nasional di Ponpes al-Husna Tangerang Banten. Beliau termasuk salah satu diantara 4 tokoh yang murtad dari ajaran/akidah Salafi-Wahabi yang hadir dalam acara tersebut. Syaikh Idahram adalah mantan aktifis PKS (Ikhwanul Muslimin) cabang Kairo.

Kalau Dr. Azas mengaku tidak bisa tidur tatkala pergolakan batinnya memuncak, sebuah proses keluarnya beliau dari akidah Salafi-Wahabi dan kembali ke ajaran Aswaja nahdliyin. Maka tak beda jauh dengan apa yang juga dirasakan oleh Syaikh Idahram yang akhirnya menghantarkan beliau ke jalan dakwah yang sejuk dan damai, Aswaja sebagai dermaga terakhirnya insya Allah.

Dalam kitab-kitab Salafi-Wahabi yang membahas perihal bid'ah, sebenarnya tidak ada satu pun yang menyingkap makna hakikat bid'ah itu sendiri. Akhirnya mereka justru terkungkung sendiri dalam definisi bid'ahnya yang sempit. Mereka akan terjerat oleh dirinya sendiri sebagai ahli bid'ah, mau atau tidak mau.

Mereka akan berkilah bahwa bid'ah yang mereka lakukan hanyalah bid'ah duniawiyyah, bukan bid'ah yang bersifat ibadah. Ini disebabkan pembagian bid'ah yang menurut mereka menjadi dua bagian, bid'ah duniawiy dan bid'ah ukhrawiy. Sebuah pembagian bid'ah yang tak pernah dilakukan oleh satu ulama salaf pun, apalagi Rasulullah Saw. dan para sahabatnya.

Sehingga tatkala kita menghadapi Salafi-Wahabi, ada beberapa jurus mematikan, mematahkan argumen yang mereka buat sendiri dengan pertanyaan diantaranya sebagai berikut:

“Beranikah kita menganggap kafir sahabat Umar bin Khathab Ra. sebab perbuatan bid'ahnya dalam shalat Tarawih?”

“Beranikah kita menganggap diri kita sendiri sebagai kafir sebab perbuatan bid'ah kita membaca al-Quran yang bertitik dan berharakat?”

“Imam Bukhari untuk menulis hadits, beliau shalat sunnah sebanyak 15.000 rakaat, suatu hal yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Beranikah kita mengkafirkan Imam Bukhari?”

Ada beberapa jurus skak mati lainnya yang disebutkan oleh Syaikh Idahram. Namun saya cukupkan dengan 3 contoh di atas. Selanjutnya bisa Anda saksikan sendiri di video yang akan diupload oleh tim dokumentasi Sarkub dan atau Aswajatv. Insya Allah.

Sya’roni As-Samfuriy, Cilangkap Jaktim 30 Desember 2013

Sumber Berita & Koleksi Foto Klik Disini

http://pustakamuhibbin.blogspot.com/2013/12/kopdar-sarkub-dan-musker-aswaja_29.html
http://www.muslimedianews.com/2013/12/kopdar-sarkub-musker-aswaja-nasional-di.html
Selengkapnya ...

Thursday, November 7, 2013

MAYAT MEMBACA AL-QUR'AN DI DALAM KUBURAN

PERPUSTAKAAN PRIBADI "MUHAMMAD THOBARY SYADZILY AL-BANTANI"
Nama kitab: Syarhu ash-Shudur bi Syarhi Hal al-Mawta wal Qubur
Karya: Imam Jalaluddin as-Suyuthi
Tebal: 312 halaman
Cetakan: Darul Fikr, Beirut – Libanon

Pada zaman Nabi saw ada mayat dari golongan waliyullah membaca Al-Qur’an di dalam kuburannya sendiri. Hal itu diterangkan di dalam kitab “Syarhu ash-Shudur bi Syarhi Hali al-Mawta wal Qubur”, karya Al-Muhaddits al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi, halaman 170-171, cetakan “Darul Fikr”, Beirut – Libanon (lihat tulisan di foto !) dengan keterangan sebagai berikut:
Artinya:
=====
“Imam Tirmidzi telah mentakhrij hadits dan menghasankannya. Begitupula halnya dengan Imam Hakim dan Imam Baihaqi. Hadits tersebut dari Ibnu Abbas RA, beliau berkata: Sebagian sahabat Nabi saw pernah mendirikan sebuah kemah di atas kuburan. Mereka tidak menyangka bahwa tanah itu adalah kuburan. Tiba-tiba di dalam kuburan itu terdengar ada orang sedang membaca surat “Al-Mulk” hingga selesai. Kemudian, sahabat mendatangi Nabi saw dan memberitahukannya kepada beliau. Lalu beliau bersabda: Surat Al-Mulk itu adalah Munjiyah (penyelamat) dan Mani’ah (penghalang), yang dapat menyelamatkannya dari siksa kubur”.


Di dalam kitab “Ar-Ruh” Abul Qasim as-Sa'di berkata: Ini merupakan pembenaran dari Nabi saw bahwa seorang mayit juga membaca Al-Qur’an di dalam kuburnya. Sementara itu Abdullah juga pernah memberitahukannya tentang hal itu dan Rasulullah saw pun membenarkannya.


Imam Kamaluddin bin az-Zamlakani berkata di dalam kitab “Al-‘Amal al-Maqbul fi Ziyarah ar-Rasul”: Hadits ini secra jelas menunjukkan bahwa seorang mayat membaca surat Al-Mulk di dalam kuburnya. Di dalam riwayat ini disebutkan tentang pemuliaan Allah kepada sebagian wali-walinya dengan membaca surat “Al-Mulk” dan menjalankan shalat di dalam kuburnya. Karena, ketika hidupnya dulu mereka pernah berdo’a memohon kepada Allah akan hal itu. Jika Allah swt telah memuliakan para wali-Nya dengan menetapkan mereka berbuat ta’at dan beribadah di alam kubur, maka sudah barangtentu para Nabi lebih berhak untuk mendapatkan ketetapan itu.


Berkata Al-Hafizh Zainuddin Ibnu Rajab di dalam kitab “Ahwal al-Qubur”: Allah telah memuliakan sebagian penghuni alam barzakh dengan berbuat amal shaleh di dalamnya, meskipun mereka dengan hal itu tidak mendapatkan pahala, karena amalnya telah terputus oleh kematian. Namun, amalnya itu masih tetap berlaku baginya. Dengan itu, dia dapat bersenang-senang dalam berdzikir kepada Allah dan berbuat ketaatan kepada-Nya, sebagaimana yang dirasakan oleh para malaikat dan penghuni surge di surga; meskipun dengan hal itu mereka tidak mendapatkan pahala. Karena, dzikir dan ketaatan itu sendiri merupakan ketaatan yang lebih besar daripada seluruh kenikmatan dan keledzatan penghuni dunia. Betapa nikmatnya orang-orang yang telah memperoleh nikmat bisa melakukan seperti itu denga berdzikr dan taat kepada-Nya.


Abul Hasan bin al-Barra’ meriwayatkan di dalam kitab “Ar-Rawdhah”, dari Abdullah bin Muhammad bin Manshur, telah menceritakan kepada saya Ibrahim al-Haffar, dia berkata: Saya menggali kuburan . kemudian nampak batu-bata. Lalu, saya mencium bau minyak misik ketika batu-bata itu terbuka. Saat itu juga seorang Syeikh sedang duduk di dalam kuburannya sedang membaca Al-Qur’an.
Ibnu Rajab berkata: Telah menceritakan kepada saya Al-Muhaaits (Pakar Hadits) Abul Hajjaj Yusuf bin Muhammad as-Surramarri, telah menceritakan guru kami Abul Hasan Ali bin al-Husain as-Samiri, seorang khatib di Samira’, seorang muslim yang shaleh memperlihatkan suatu tempat dari beberapa kuburan yang tidak pernah sepi. Lalu dia berkata: Dari tempat ini kita masih akan terus mendengar bacaan surat Al-Mulk

Selengkapnya ...

Tuesday, November 5, 2013

Nash Al-Quran dan Hadits Yang Samar Maksudnya




SIKAP ULAMA SALAF DAN KHALAF TERHADAP NASH AL-QUR'AN DAN HADITS YANG SAMAR MAKSUDNYA

و كل نص أوهم التشبيها ### أوله أو فوض و رم تنزيها

Artinya: 

“Dan setiap nash yang dapat menimbulkan kesalahpahaman tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka lakukanlah ta’wil atau tafwid dan hendaklah engkau bertujuan memahabersihkan Allah dari sesuatu yang tidak pantas bagi-Nya”.

{ Bait No. 40 dari Kitab Ilmu Tauhid "Hasyiyah Al-Imam A-Baijuri 'ala Jawharah At-Tauhid" karya Imam Ali Jum'ah, halaman 156, cetakan "Darussalam", Mesir.}

PENJELASAN BAIT NO. 40:


Dalam menyikapi setiap nash dari Al-Qur’an dan Hadits yang dikuatirkan dapat menimbulkan kesalahpaaman tentang penyerupaan Allah dengan makhluk, maka para ulama Ahlussunnah wal Jama’ah berijtihad melakukan ta’wil. Hanya saja ulama salaf (1-300 H.) dengan “Madzhab as-Salaf (مذهب السلف) atau “Thariq as-Salaf (طريق السلف)”-nya berijtihad melakukan “Ta’wil Ijmali (Ta’wil Global)”, yaitu dengan cara menggunakan lafadz nash secara dzohirnya lafadz namun tidak mengi’tiqadkan Allah serupa dengan makhluk. Kemudian, tujuan yang dimaksud oleh nash tersebut diserahkan langsung kepada Allah SWT semata (tafwid). Contoh: 
الرحمن على العرش استوى
Ulama Salaf mengatakan: Istiwa’ tidak kami ketahui maksudnya.

Sedangkan, ulama khalaf dengan “Madzhab al-Khalaf (مذهب الخلف) atau “Thariq al-Khalaf (طريق الخلف)”-nya berijtihad melakukan “Ta’wil Tafshili”, yaitu dengan cara menjelaskan makna yang dimaksud oleh nash Al-Qur’an dan Hadits yang samar tersebut, sehingga jelas maksudnya dan tidak menyerupakan Allah dengan makhluk. Dengan demikian, umat Islam akan selamat dari kesalahpahaman dalam rmemahami nash tersebut. Contoh: 
الرحمن على العرش استوى

Ulama Khalaf mengatakan: Yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala itu adalah “Al-Istila’ (artinya: Menguasai)” dan “Al-Mulku (artinya: Merajai)”.

Jalan ta'wil ini sesuai dengan Firman Allah dalam Surat Ali 'Imran {3}: 7 sebagai berikut:

هُوَ ٱلَّذِيۤ أَنزَلَ عَلَيْكَ ٱلْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ٱبْتِغَاءَ ٱلْفِتْنَةِ وَٱبْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ ٱللَّهُ وَٱلرَّاسِخُونَ فِي ٱلْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ ٱلأَلْبَابِ

ARTINYA:

"Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat[183], itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat[184]. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal."


Dengan demikian, jalan yang ditempuh oleh ulama salaf dan ulama khalaf ini kedua-duanya benar. Namun, yang paling unggul adalah jalan yang ditempuh oleh ulama khalaf, dikarenakan perkembangan pemikiran umat Islam semakin ke depannya semakin kritis. sehingga dikuatirkan nantinya umat Islam akan salah memahami nash tersebut yang masih samar maksudnya, seandainya tidak dita’wil dengan “Ta’wil Tafshili”.

Selengkapnya ...

Allah swt Tidak Butuh Tempat, Arah, Zaman, Warna, Gerakan & Diam


Di dalam kitab "Kifayatul 'Awam" karya Syeikh Ibrahim Al-Baijuri halaman 60 diterangkan sebagai berikut:

و الرابعة المماثلة ضد المخالفة فيستحيل عليه تعالي أن يماثل الحوادث في شيء مما اتصفوا به فلا يمر عليه تعالي زمان و ليس له مكان و ليس له حركة و لا سكون و لا يتصف بألوان و لا بجهة فلا يقال فوق الجرم و لا عن يمين الجرم و ليس له تعالي جهة فلا يقال اني تحت الله فقول العامة اني تحت ربي و ان ربي فوقي كلام منكر يخاف علي من يعتقده الكفر

Artinya:

"Dan sifat mustahil yang keempat bagi Allah swt adalah sifat "Al-Mumatsalah (المماثلة)". Artnya: Menyerupai makhluk, lawan dari sifat yang wajib bagi Allah swt yaitu sifat "Al-Mukhalafah (المخالفة)". Artinya: Allah swt berbeda dengan makhluk.

Maka mustahil bagi Allah swt menyerupai makhluk pada sesuatu yang disifatinya. Olehkarena itu, Allah tidak dilewati (diliputi) oleh zaman (waktu), tempat, gerakan, dan diam, dan tidak pula disifati oleh warna-warna dan arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa Allah itu berada di atas jirim (bentuk makhluk seperti manusia) dan berada di sebelah kanan jirim. Begitupula, Allah tidak mempunyai arah. Maka tidak boleh dikatakan bahwa sesungguhnya aku berada di bawah Allah.

Adapun ucapan 'awam (orang-orang yang tidak tahu tentang ilmu tauhid) mengatakan bawa sesungguhnya aku berada di bawah Tuhanku dan sesungguhnya Tuhanku berada di atasku merupakan kalam munkar, yang dikuatirkan dapat menimbulkan kekufuran bagi orang yang mengi'tiqadkan atau meyakininya".

Tambahan:

Dalil sifat 'Al-Mukhalafah (Allah swt berbeda dengan makhluk") Al-Qur'an surat Asy-Syuraa ayat 11:

فَاطِرُ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ‌ۚ جَعَلَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٲجً۬ا وَمِنَ ٱلۡأَنۡعَـٰمِ أَزۡوَٲجً۬ا‌ۖ يَذۡرَؤُكُمۡ فِيهِ‌ۚ لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَىۡءٌ۬‌ۖ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡبَصِيرُ

Artinya:


"(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Melihat".

Selengkapnya ...

Hukum Mengi'tiqadkan Allah swt Seperti Makhluk


Kita jangan sembarangan menghukumi orang dengan hukuman murtad, kafir, dan sejenisnya sebelum kita menguasai permasalahan hukum tersebut sesuai dengan apa yang dipermasalahkan. Hal itu dilarang keras dalam ajaran Islam. 

Di dalam kitab "Hasyiyah ad-Dasuqi 'ala Ummil Barahin" halaman 109 diterangkan tentang orang yang mengi'tiqadkan atau meyakinkan bahwa Allah swt disamakan seperti makhluk (lihat tulisan yang ada di foto baris ke-9 - 12 !) sebagai berikut:

و اعلم أن من اعتقد أن الله جسم كالأجسام فهو كافر و من المعتقد أنه جسم لا كالأجسام فهو عاص غير كافر و الاعتقاد الحق اعتقاد أن الله ليس بجسم و لا صفة و لا يعلم ذاته الا هو

Artinya: "Dan ketahuilah oleh kalian bahwa sesungguhnya:

1. Barangsiapa mengi'tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah swt seperti jisim (bentuk suatu makhluk) sebagimana jisim-jisim lainnya, maka orang tersebut hukumnya "Kafir (orang yang kufur dalam i'tiqad, bukan berarti keluar dari Islam pindah ke agama lain)."


2. Orang yang mengi'tiqadkan (meyakinkan) bahwa Allah swt seperti jisim (bentuk suatu makhluk), tapi tidak disamakan sebagaimana jisim-jisim (bentuk-bentuk makhluk) lainnya, maka orang tersebut hukumnya "'Aashin" atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah swt, dan bukanlah orang "kafir (orang yang kufur dalam i'tiqad)." 

3. I'tiqad yang benar adalah i'tiqad yang menyatakan bahwa sesungguhnya Allah swt itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui Dzat Allah swt kecuali Dia."

Dengan demikian, berdasarkan keterangan tauhid di kitab "Hasiyah ad-Dasuqi 'ala Ummil Barahin" tersebut di atas, ucapan yang dikeluarkan oleh seseorang dalam kaitannya dengan ilmu tauhid, tergantung dari i'tiqadnya, apakah ucapannya itu di'itiqadkan atau tidak. Hal ini diperkuat dengan keterangan yang diungkapkan Syeikh Al-Akhthal dalam sya'irnya: 

ان الكلام لفى الفؤاد و انما #### جعل اللسان على الفؤاد دليلا

Selengkapnya ...

Sunday, November 3, 2013

KITAB "AL-GHUNYAH" KARYA SYEIKH ABDUL QADIR SUDAH DIPALSU WAHABI

 

 

 

Kitab "Al-Ghunyah" karya Syeikh Abdul Qadir al-Jilani (wafat 561 H), cetakan "Darul Kutub al-'Ilmiyyah", Beirut - Libanon ini sudah ditahrif / dirubah / dipalsu isinya oleh Wahabi / Salafi.

Di dalam kitab ini di bagian Bab Aqidah halaman 125 dikatakan bahwa "Al-Istiwa' (bersemayam) merupakan sebagian dari sifat-sifat Dzat Allah SWT. Dengan demikian, sudah selayaknya bagi Allah mempunyai tangan, wajah, mata, pendengaran, dan penglihatan. Padahal aqidah ini adalah aqidah yang dianut oleh kaum Mujassimah (golongan yang menyerupakan Allah SWT dengan makhluk), yang ajarannya sudah keluar dari ajaran Ahlussunnah wal Jama'ah, yang beraqidah Asy'ariyah dan Maturidiyah.

Selengkapnya ...

AL-FIQHUL AKBAR, KITAB AQIDAH IMAM SYAFI'I


Al-Fiqhu Al-Akbar
Nama kitab: Al-Kawkab Al-Azhar Syarah Al-Fiqhu Al-Akbar.
Karya: Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i.
Masalah: Tauhid / Aqidah Imam Syafi'i.
Cetakan: Darul Fikr, Beirut - Libanon).


Berkata Imam Syafi’I, semoga Allah ta’ala merahmatinya: (Maka seandainya dikatakan: Tidakkkah Allah ta’ala berfirman:
الرجمن على العرش استوى
Dikatakan bahwa ayat ini bagian dari ayat Mustasyabbihat (ayat yang samar untuk mengetahui maksud rdan tujuannya dan perlu penjelasan dari pakar tafsir Al-Qur’an). Adapun jawaban yang kami pilih dari ayat mutasyabbihat dan keasamaan-kesamaannya ini berlaku bagi orang yang tidak mau mendalami ilmunya agar melewatinya seperti apa adanya ayat dan tidak perlu membahas dan membicarakan ayat ini. Karena, hal ini tidak akan aman untuk terjatuh ke dalam lumpur “Tasybih”, yakni menyamakan Allah dengan makhluk apabila bukan dari golongan orang-orang yang dalam ilmunya.

Dengan demikian, wajib bagi setiap muslim yang mukallaf untuk mengi'tiqadkan atau meyakinkan perkara di dalam sifat-sifat Dzat Maha Pencipta (Allah) ta’ala seperti apa yang telah kami terangkan, di mana Allah ta’ala tidak diliputi oleh tempat dan tidak berlaku zaman bagi-Nya. Juga, Dia maha dibersihkan dari segala batasan, dan ujung dan tidak butuh kepada tempat dan arah. Dia selamat dari segala bentuk kerusakan dan keserupaan.
Olehkarena dengan adanya makna ayat ini, maka Imam Malik rahimahullah melarang kepada seseorang untuk menanyakan tentang ayat ini. Beliau berkata: Al-Istiwa’ sesuatu yang sudah disebut. Kaifiat (pertingkah) sesuatu yang samar. Iman dengan ayat ini wajib. Dan, bertanya tentang ayat ini bid’ah.
Kemudian, beliau berkata: Seandainya engkau kembali menanyakan kepada semitsal ayat ini, maka aku memerintahkan supaya engkau menepuk lehermu. Semoga Allah melindungi kita dan kalian untuk tidak menyamakan Allah dengan makhluk !

{Keterangan dari kitab "Al-Kawkab Al-Azhar Syarah Al-Fiqhu Al-Akbar", karya Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi'i, halaman 68, cetakan "Darul Fikr", Beirut - Libanon)
Selengkapnya ...

Celalah diri sendiri sebelum mencela orang lain !

Celalah diri sendiri sebelum mencela orang lain ! Karena, orang yang suka mencela orang lain (termasuk mencela amalan para ulama) dan tidak mencela diri sendiri termasuk orang yang celaka dan berkelakuan seperti Iblis.

Iblis celaka karena lima perkara:
1. Tidak mengakui dosa-dosanya,
2. Tidak menyesali atas dosa-dosanya,
3. Tidak mencela dirinya,
4. Tidak segera bertaubat,
5. Putus asa dari rahmat Allah ta'ala.

{Keterangan dari kitab "Tanbih al-Mughtarrin (Peringatan bagi Orang-orang yang Tertipu)", karya Imam Abdul Wahab asy-Sya'rani, halaman 49, cetakan "Dar al-Kutub al-Islamiyyah", Kalibata - Jakarta Selatan}.
Selengkapnya ...

Thursday, October 31, 2013

Tidak ada istilah "Manhaj Salaf"


Tidak ada istilah "Manhaj Salaf" / منهج السلف di dalam literatur kitab-kitab klasik karya ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama'ah, kecuali di kitab-kitab atau buku-buku terjemahan Wahabi / Salafi.

Ada juga istilah:

1. "Madzhab Salaf" / مذهب السلف, sebagaimana tercantum di dalam kitab "Tadzkiratul Huffadz", karya Imam adz-Dzahabi (wafat hari Jum'at pagi, 15 Rabi'ul Akhir 576 H / 8 September 1180 M), jilid 2 juz 3 halaman 225, cetakan "Darul Kutub al-'Ilmiyyah". Beirut Libanon.
Nama lengkap beliau adalah: Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Utsman adz-Dzahabi.

2. "Thariq as-Salaf" / طريق السلف, sebagaimana tercantum di dalam kitab "Tanbihul Mughtarrin", karya Syaikhul Islam Imam Abdul Wahab asy-Sya'rani, halaman 20, cetakan "Darul Kutub al-Islamiyyah", Kalibata - Jakarta Selatan.

3. "Madzhab A'immati as-Salaf" / مذهب أئمة السلف. Lihat kitab "Tadzkiratul Huffadz", karya Imam adz-Dzahabi !

4. "Madzhab as-Salaf" / مذهب السلف . Lihat kitab "Al-'Aqidah Al-Islamiyyah 'inda Al-Fuqaha Al-Arba'ah" karya Abul Yazid Abu Zaed Al-'Ajami, halaman 90, cetakan "Darus Salam", Mesir, dengan keterangan sebagai berikut:
الأعتقلد على مذهب السلف أهل السنة و الجماعة

Pada kitab yang sama kalimat "Madzhab as-Salaf" bisa pula dilihat di halaman 106 & 280.

5. "Madzhab as-Salaf" / مذهب السلف . Lihat kitab "Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra", karya Imam Tajuddin as-Subki (727-771 H), jilid 3 halaman 367 dan jilid 9 halaman 35 !

6. Dan sebagainya.

PERHATIAN:

Seandainya ada istilah "Manhaj Salaf" di kitab-kitab klasik karya Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah yang terangkum dalam Empat Imam Madzhab (Maliki, Syafi'i, Hanafi, dan Hanbali), silahkan di-share di sini !

Sebagai pembuktiannya, silahkan cari di kitab-kitab klasik lainnya, seperti:

1. Kitab "Hilyatul Awliya' (10 jilid),
2. Kitab "Ath-Thabaqat asy-Syafi'iyyah al-Kubra (10 jilid)
3. Tarikh Baghdad (14 jilid),
4. Al-Bidayah wan Nihayah (8 jilid), karya Imam Ibnu Katsir,
5. Dsb.
Selengkapnya ...

Saturday, October 19, 2013

Pembagian Bidah Menurut Imam Izzuddin Bin Abdus Salam


Di dalam kitab “Qawa’idul Ahkam fi Mashalihul Anam” karya Imam ‘Izzuddin bin Abdussalam (wafat 660 H/ 1262 M) cetakan “Al-Maktabah Al-Husainiyah” Mesir tahun 1353 H / 1934 M juz 2 halaman 195 diterangkan sebagai berikut:


Artinya: “Bid’ah adalah suatu pekerjaan yang tidak dikenal di zaman Rasulullah saw”.
Bid’ah terbagi ke dalam 5 bagian, yaitu: 1. Bid’ah Wajib, 2. Bid’ah Haram, 3. Bid’ah Sunnah, 4. Bid’ah Makruh, dan 5. Bid’ah Mubah.

Adapun cara untuk mengetahui kelima bid’ah tersebut adalah engkau harus menjelaskan tentang bid’ah berdasarkan atas kaedah-kaedah hukum syara’.
Maka seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang kewajiban bid’ah, maka disebut bid’ah wajib. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah tentang keharaman bid’ah, maka disebut bid’ah haram. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kesunnahan bid’ah, maka disebut bid’ah sunnah. Seandainya engkau masuk di dalam kaedah-kaedah kebolehan bid’ah, maka disebut bid’ah mubah.


I. Contoh Bid’ah Wajib:
1.  Sibuk belajar ilmu nahwu untuk tujuan memahami Al-Qur’an dan Hadits Nabi saw. Bid’ah tersebut hukumnya wajib, karena memelihara syari’at juga hukumnya wajib. Tidak mudah memelihara syari’at terkecuali harus mengetahui ilmu nahwu. Kata kaedah ushul fiqih: “Maa laa yatimmul waajibu illa bihi fahuwa wajibun”. Artinya: “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hukumnya wajib”.

2. Memelihara bahasa Al-Qur’an dan Hadits yang memiliki arti yang asing (perlu penjelasan yang tepat dan benar).

3. Pembukuan Ilmu Ushul Fiqih.

4. Al-Kalam fil Jarhi wat Ta’dil (kalam seorang perawi hadits yang menyebabkan periwayatan haditsnya ditolak atau dilemahkan terhadap suatu hadits) dengan tujuan untuk membedakan hadits yang shahih dari yang tidak shahih.

Sesungguhnya kaedah-kaedah syari’at Islam menunjukkan bahwa memelihara syari’at itu hukumnya fardhu kifayah di dalam sesuatu yang berlebih atas kadar yang ditentukan.
Tidaklah mudah memeliharta syari’at  terkecuali dengan sesuatu yang diceritakan di atas.



II. Contoh Bid’ah Haram.
Di antaranya: Golongan Qadariyah, Jabariyah, Murji’ah, dan Mujassimah. Menolak terhadap mereka termasuk bid’ah yang wajib.

III. Contoh Bid’ah Sunnah.
Di antaranya: Memperbaharui pesantren dan madrasah, membangun jembatan, mengerjakan perbuatan bagus yang tidak ada di masa permulaan Islam,  mengerjakan shalat tarawih (berjama’ah), ucapan tasawuf yang mengandung pengertian yang dalam, dan ucapan di dalam perdebatan untuk mencari dalil dalam menghimpun masalah-masalah hukum dengan tujuan mencari ridha Allah swt.

IV. Contoh Bid’ah Makruh.
Di antaranya menghiasi masjid, dan menghiasi mashaf. Adapun membaca Al-Qur’an secara “Lahn (keliru dalam bacaan I’rabnya)” sekira-kira berubah lafadz-lafadznya, maka menurut pendapat ulama yang benar adalah termasuk bid’ah haram.

Contoh Bid’ah Mubah.
Di antaranya: Bersalam-salaman sesudah shalat shubuh dan ‘ashar, meluaskan yang enak-enak seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, memakai pakaian panjang, dan meluaskan lengan baju.

Sebagian bid’ah mubah terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian ulama menjadikannya bid’ah makruh, dan sebagian yang lain menjadikannya sunnah-sunnah yang dilakukan di masa Rasulullah saw dan sesudah masa beliau, seperti membaca “Isti’adzhah (أعوذ بالله من الشيطان الرجيم)”   di dalam shalat dan basmalah.
Selengkapnya ...
Designed By Published.. Blogger Templates